Pendeta sudah hampir selesai membacakan doa pada upacara pemakaman. Tiba-tiba pria berumur 78 tahun yang istrinya—teman hidupnya selama 50 tahun—meninggal dunia dan baru saja dimakamkan berseru dengan sedih, “Aduh, aduh, betapa besarnya cintaku kepadanya!” Keluh kesahnya itu terasa mengganggu ketenangan upacara yang berlangsung khusyuk itu. Para anggota keluarga dan teman-teman yang berdiri di sekeliling nampak kaget dan kikuk karenanya. Anak-anak pria itu, yang semua sudah dewasa, berusaha menenangkannya.
“Sudahlah, Ayah—kami mengerti. Sudah, tenanglah.” Pria lansia itu menatap peti mati yang dengan pelan pelan diturunkan ke dalam liang makam, sementara pendeta mengakhiri doa. Setelah selesai, dipersilahkannya sanak keluarga menaburkan tanah ke atas peti mati sebagai tanda bahwa maut merupakan akhir yag pasti. Hadirin secara bergilir melakukannya, kecuali pria lansia itu. ”Aduh, aku sangat mencintainya!” keluhnya dengan suara keras. Ketiga anaknya berusaha lagi menenangkannya, tetapi ia terus saja berkeluh kesah, ”Aku mencintainya!”
Ketika para pelayat mulai beranjak hendak pergi, pria itu tetap saja berdiri di tempat semula sambil menatap ke dalam liang. Kini pendeta menghampirinya, ”Saya tahu bagaimana perasaan Anda, tetapi kini sudah waktunya pergi. Kita semua harus pergi dari sini dan meneruskan kehidupan kita.”
”Aduh, betapa besarnya cintaku kepadanya!” keluh pria malang itu dengan sedih. ”Anda tidak mengerti,” ujarnya kepada pendeta. ”Saya pernah sekali hendak mengucapkannya kepadanya.”
Tuesday, July 3, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
”Kelemahan terbesar dari kebanyakkan manusia adalah keseganan untuk menyatakan pada orang lain betapa mereka menyayangi orang-orang itu sewaktu mereka masih hidup.”
Post a Comment